“Jernihnya ini air di?”, saya bertanya kembali pada teman-teman
“Iya, bemana langsung dari mata air”
“Kalo banyak orang yang mandi pasti kabur”
“Disini juga masih dalam dan dasarnya masih bagus”
“Kira-kira 20 tahun lagi, kalo kita sudah besar semua, sudah punya anak
juga, jompi masih begini ato tidak di?”
“Terlalu jauh pikiranmu, yang dekat-dekat saja kone, 10 tahun lagi supaya
kita masih muda juga”
“Biar 10 tahun, siapa tau ada yang sudah kawin?”
“Iyo di, bisa saja”
“20 tahun lagi, mungkin kita semua sudah punya anak. Kalo hari minggu
kita moajak mandi-mandi disini, masih bisa ato tidak di?”
“Tetau juga e, sekarang tahun 2001, 20 tahun lagi berarti tahun 2021.
Sapatau sudah robot-robotmi semua”
“Sekarang saja banyak sekali orang tebang jati, di warangga saja hampir
tiap malam orang mengangsur lewat smp 1”
“Di kontu sana e, orang sudah jadikan kebun, jatinya habis dipotong”
“Didepan sma 2 dan smp 3 juga hampir tiap malam orang mengangsung,
sapernah dipanggil ikut” kata La Endo yang sedikit kesal
“Di jompi sini orang sudah mulai menebangmi juga”
“Iyo, baru tida susah mengangsur kalo disini, kasi lewat air selesai”
“Kalo habis jatinya jompi, kira-kira airnya masih banya begini ato tidak?
Ini mata 2 masih jernih dan dalam begini ato tidak?
“Iya juga di, siapa tau keringmi juga dengan jompi”
“Huuss, masa mau kering, koteliat kah itu mata air banyanya, dari atas
mata 3, di mata 3 n mata 2, banya sekali mata air baru besar semua” sanggah La
Angko, yang tidak yakin kekeringan akan menimpa jompi.
“itu karna banya kayu to?, bemna kalo itu hutan diatas sana gondol?”
Tangan La Firman menunjuk kearah bukit diatas mata air mata 3.
La Angko yang tidak setuju dengan pemotongan kayu, dan La Firman terlibat
perdebatan kecil, dan kami ber 4 tidak ingin terlibat didalamnya.
“Siapa juga yang bodo-bodo mau potong kayu diatas itu” Kata La Angko
“Banya to, kokira uang sedikit itu kayu kah?”
“Kaya dorang tetau saja, temungkin dorang potong”
“Soktau kau, demi uang siapa yang tidak mau”
“Kau yang sok tau”
“Sekarang samau kasi kau uang 300 ribu, asal koikut saya potong kayu,
komau ato tida?”
“Samau, tapi jangan kayu dijompi”
“Komau uang ato tidak?”
“Samau tapi bukan kayu disini”
“Hahaha, sama saja semua kayu jati”
“Beda to, di jompi dengan di warangga”
“Kalo dijual sama saja harganya”
“Sudami kone, kalau mau, potong saja, kalau temau ikut silakan saja, saya
terus terang saminta maaf tebisa ikut”, kataku mencoba menengahi. “Coba
kamorang liat ini air, lompat didalam baru menyelam, habis itu naik n dengar
itu burung-burung. Habis itu Coba kamorang pikir, kalo semua ini rusak, apa
yang kamorang mau ceritakan sama ana-ananya kita nanti?”.
Kemudian La Endo meneruskan “Kalo kamorang ceritakan, mungkin dorang
hanya menghayal saja, pas datang disini sudah lain dengan ceritanya kamorang”.
“Marimi kita pulang kalo begitu”, panggil La Endo
Baru kali itu perjalanan kami sunyi, tiada tawa seperti yang biasa
terjadi, tiada pula canda yang keluar dari mulut La Angko yang biasanya selalu
tertawa. Saya hanya berusaha berjalan untuk sampai dirumah, terus membasuh
kembali badan dengan air bersih dan ingin tidur yang lelap. Ini hanya
pertengkaran kecil diantara kami, paling besok akan reda dan semua kembali
seperti biasa, kataku dalam hati.
***
“Ganti rokok kah?, sakira rokok
kretek koisap?” La Angko menjulurkan tangannya kearahku, menyambar sebatang
rokok filter putih dari bungkusnya, dan tak berapa lama mendarat dibibirnya.
“Korek? Masa Cuma rokok, ini mau dimakan atau diisap?” dan diapun
tertawa.
Sudah dari sore tadi tak hentinya dia membuat kami tertawa, dengan mimik
dan bahasanya yang selalu nyeleneh, “ini ee, itu dekatnya bapanya firman,
kecuali kominta lagi koreku” dalam keadaan tertawa saya mengambilkannya korek
kayu dari atas meja.
“Haduuh, korek jaman belanda lagi kokasi, ini korek yang dipake belanda
waktu jajah Indonesia” ditengah riuh tawa seisi ruangan dia membakar rokoknya,
diisapnya rokok itu kemudian dihembuskan, diisapnya dan dihembuskan lagi.
Seperti kereta api Bandung-Surabaya dalam nyanyian anak-anak.
Ini malam kamis di tahun 2019, dan besok adalah Hari Raya Idul Fitri yang
oleh banyak orang dikatakan hari kemenangan. Sementara Jam didinding menunjukan
pukul 20.45, suara tawa kami terus menggema dalam ruangan berukuran 3x5 yang
juga merupakan ruang tamu rumah La Firman.
“Kamorang masih ingat waktu kita mandi di jompi dulu?” Tanya la Endo
“Pastimi, masa samau lupa, sampe sekarang belum 20 tahun ingka, tapi
semua sudah punya anak” jawab La Angko yang kembali tertawa.
“Siapa yang sudah pergi di jompi?”, Tanya La Elang.
“Siapa yang sudah ajak anaknya pergi dijompi?” sambung La Wyq.
“Kamorang sudah ceritakan itu sama ananya kamorang tentang jompi?”
giliran La Firman yang menyampaikan pertanyaan.
“Pasti belum ada to?, jawabku, “Karena saya sudah semuanya”. Sasudah
pergi dijompi, sama anakku dan istriku, kita mandi di Mata Air mata 2.
“Saya sasudah pergi juga” jawab La Angko dan La Firman
“Saya baru dari jompi kemarin dulu” kata La Endo
“Bagimana jompi menurutnya kamorang?” dan saya kembali bertanya pada mereka.
“Hampir rusak” jawab La Endo. “Untung sudah kurang orang menebang, tidak
kayak dulu, kalo tidak bisa kering jompi”
“Iya, di mata 3 sampe mata 1 sudah kotor, bukan pasir n batu lagi
didasarnya, tapi tanah”
“Koliat itu tanggul disamping kiri kanannya?, itu karena sebelumnya jompi
sudah dangkal, makanya dibikin tanggul supaya mengecil badan sungai dan tutup
bendungannya ditambah”.
“Memang tamba dalam mata 2, tapi tiadami jalan untuk kesana. Jalan lewat
hutan yang dulu kita biasa lewati, sudah tatutup pohon-pohon, teperna dilewati
orang. Jalan bawah yang pipa besar biasa kita lewati, sudah dipondasi dan hanya
bisa dilewati 1 orang”.
“Seperti ditutup jalan menuju mata 2, betul kasian, kayak dilarang orang
datang disana”
“Kasian sekali jompi” kataku. “Dulu bisa ratusan orang datang disana tiap
hari sabtu, sekarang kayak hutan purba saja. Kenapa tidak dijadikan tempat
wisata saja, supaya jompi tetap terjaga tapi orang-orang disekitarnya juga bisa
dapat uang. Coba bayangkan, tiket masuk dan parkir saja kalo dikelola
baik-baik, bisa banyak pemasukannya dorang dan itu bisa dikelola anak-anak muda
disana”.
“Betul sekali bro”, sambung La Endo. Kalo jadi tempat wisata, semua
titik-titik dijompi bisa diakses orang, mungkin bisa juga ditambakan wahana
lain bemana menurutmu?”
“Pasati bisa to” Jawab La Angko. “Masih bisa pasang Flying fox dan
penyewaan peralatan berenang tuk dewasa dan anak-anak”.
“Kalo ada camping ground pasti lebih bagus lagi”, mantap itu wyq potong
la Elang. “Selain camping ground bisa juga kafe ato fila, pasti senang orang
datang dan nginap disitu”. “Konturnya juga bagus, sungai dari atas berbentuk S
dan disampingnya ada tebing batu yang tidak terlalu tinggi. Orang luar pasti
lebih pilih nginap disini daripada di hotel”.
“Iyo di” kata La Firman, ”itu lapangan tenis diatas bisa dijadikan tempat
parkir mobil, kolam renang dibawah yang sudah ditimbun bisa jadi parkir motor,
bagusnya kalo begitu”
“Tinggal dicarikan posisi yang bagus untuk tempat jualan, seperti ubi goreng
dan jualan-jualan kecil lainnya”.
“Ada yang kamorang lupa” kataku memotong pembicaraan mereka. “Di mata 1 bagusnya
dibikin jembatan kayu diatasnya, bisa jadi tempat lewat dan bisa juga jadi
tempat berfoto, bagimana?”
“Cocok, Mantap sekalimi itu, spot Photo Hunting perlu sekali dalam tempat
wisata. Karena salah satu yang bikin orang datang yaitu hanya untuk foto-foto”.
“Jadi kapan kita pergi di
Jompi?”
Dan kamipun hanyut dalam suasana malam, yang gelap tanpa penerangan yang
cukup, dengan sedikit gerimis yang nampak romantis dibawah sinar lampu diluar
sana.
***
0 comments:
Posting Komentar